Halaman

Minggu, 14 Juli 2013

Sampai Kapan Kita Impor?


Semua presiden negeri ini semua menyisakan masalah impor, khususnya pangan yang sampai sekarang cenderung terus meningkat. Belum ada presiden yang berhasil menghentikan atau mengurangi impor pangan dengan produksi dalam negeri. Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat selama Januari-Juni 2011, nilai impor pangan mencapai US$5,36 miliar atau sekitar Rp45 triliun. Nilai impor pangan semester I tahun 2011 lebih tinggi jika dibandingkan dengan semester yang sama tahun 2010. BPS juga mencatat, nilai impor pangan pada tahun lalu sebesar US$4,66 miliar atau setara dengan Rp39,91 triliun.

Perkiraan nilai impor akan terus meningkat di tahun 2013 ini, diperkirakan naik sekitar 10%. Kenaikan impor tahun 2010 ke 2011 sekitar 7%, kondisi ini membuat sedih bangsa ini. Kenapa impor selalu menjadi andalan utama dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri? Bukankah kita negeri agraris dan maritim yang kaya akan segalanya.

Krisis Pangan

Dunia memang sedang dilanda krisis pangan, Kelaparan di dunia 60 persen berada di kawasan Asia dan Pasifik, diikuti oleh negeri sub Sahara dan Afrika sebesar 24 persen, serta Amerika Latin dan Karibia 6 persen. Setiap tahun orang yang menderita kelaparan bertambah 5,4 juta jiwa. Bahkan setiap tahunnya 36 juta jiwa rakyat mati karena kelaparan dan gizi buruk. Puncaknya 2010 PBB melalui FAO merilis terdapat 975 juta jiwa manusia di dunia yang terancam kelaparan dan kematian.

Dunia gagal mengatasi kelaparan, cita – cita FAO untuk mengurangi angka kelaparan sebanyak 575 juta jiwa tahun 2015 sulit akan terealisasi. versi pememrintah angka kemiskinan masih sekitar 13% atau setara 30 juta jiwa. Penduduk miskin negeri ini mencapai angka sekitar 25%  atau setara 60 juta jiwa dengan standar ADB. Standar kemiskinan yang digunakan ADB adalah penghasilan di bawah 1,25 dollar AS per hari (sekitar Rp 10.625). Rencana pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan sekitar 8 – 10% gagal terealisasi. Kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok masyarakat tidak mampu dipenuhi, penerima raskin yang mencapai 71 juta jiwa memberikan gambaran rakyat negeri ini masih kelaparan. Masih ada 17,4% penderita gizi buruk dan malnutrisi yang meghantui bayi, bahkan kecenderungan akan terus naik jika pemerintah gagal menyediakan pangan bergizi untuk masyarakat.

Kondisi diatas menggambarkan bahwa krisis pangan menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan hidup masa depan dan generasi bangsa ini. Keberadaan kebijakan yang selalu pro dengan pasar dan kapitalisme menjadikan impor sebagai alasan untuk menstabilkan kondisi makro ekonomi nasional. Ketergantungan kepada impor jelas sangat berbahaya disaat nantinya kondisi negara pengkespor pangan sedang dilanda masalah. Kita lihat Thailand yang sedang mengalami krisis produksi pangan akibat bencana banjir.

Keputusan Penting

Jared Diamond dalam bukunya, Collapse : How Societes Choose to fail or succeced (2005) memasukan Indonesia selain Nepal dan Kolombia sebagai peradaban yang mungkin dekat dengan keruntuhan. Ya mungkin analisis ini bisa terjadi jika negeri ini terus masih mengantungkan pangan dari bangsa lain. Keruntuhan bukan secara hukum negara bubar, namun negeri ini akan “dikendalikan” olah bangsa lain yang berarti tidak memiliki kedaulatan. Jonh perkin (2005) juga sudah mengingatkan akan bahaya impor, karena Indonesia adalah negera besar yang kaya akan segalanya. Kekurangan bangsa ini kata Perkin, pemimpin kita mudah menerima upeti, itu saja.

Negeri ini tidak boleh lagi mengambil keputusan yang salah, khususnya soal impor pangan. Penataan lembaga pangan nasional haruslah menjadi prioritas, jangan biarkan kelembangaan pangan kita centang perenang tidak jelas alur dan arah kordinasinya. Pangan lokal biarkan menjadi menu favorit, kita tidak ingin “memberaskan” Indonesia, kekayaan alam harus terus diteliti untuk peningkatan diversifikasi pangan nasional. Soekarno memilih mengentikan ikan impor dari Malasyia walaupun rakyatnya kelaparan, namun keputusan ini memberikan dampak luar biasa bagi nelayan kita. Ada harapan yang dijanjikan Soekarno bahwa kita bisa hidup tanpa harus makan pangan impor yang menguntungkan bangsa lain. Pertanyaannya sapai kapan kita akan terus impor? Siapa yang akan bisa menjawab kalau bukan kita sendiri.

Ditulis Oleh: Riyono
Sekjen DPP Perhimpunan Petani Nelayan Sejahtera Indonesia